Analisis Bank Syariah dan Produk-Produk Syari’ah
Bank merupakan badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kembali dalam bentuk kredit atau dalam bentuk lain yang dapat meningkatkan
taraf hidup orang banyak. Ada dua jenis bank yang terdapat di Indonesia, yaitu yang
pertama adalah bank yang melakukan usaha secara konvensional dan bank yang
melakukan usahanya secara syariah. Yang kedua bank tersebut memiliki kesamaan dan perbedaannya
masing-masing, dimana Bank konvensional dan Bank Syariah sama-sama memiliki kesamaan
terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, laporan
keuangan, teknologi yang digunakan dan sebagainya. Sedangkan untuk perbedaannya
itu menyangkut struktur organisasi, aspek dan legalitas, lingkungan kerja dan
usaha yang dibiayai.
Pebedaan
mengenai struktur organisasi yaitu jabatan tertinggi pada Bank Syari’ah berada
pada tangan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang setingkat dengan Dewan Komisaris
pada setiap bank. Dimana DPS ini bertugas mengawasi kegiatan operasional bank dan
produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syari’ah. Sehingga dengan
adanya DPS menjamin efektivitas kegiatan operasional yang benar-benar murni
syari’ah. Setiap lembaga syari’ah mempunyai
falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebajikan didunia maupun akhirat. Yaitu dengan menjauhkan diri dari
unsur riba dan menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan atau jual-beli. Dengan
mengacu pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisa ayat 29, maka setiap
transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar bagi hasil dan
perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang
dengan barang.
Untuk lingkungan kerja, kalau kita lihat memang di Bank Syariah
akan terasa ada nuansa dan aura yang berbeda, karena nuansa yang diberikan oleh
bank syariah lebih islami dengan lewat cara berpakaian, etika dan tingkahlaku
para karyawannya, dibanding dengan bank konvensional pada umumnya. Dalam
menangani resiko usahanya juga, bank konvensional tidak berkaitan dengan
nasabahnya secara langsung, dan antara pendapatan bunga atau beban bunga
dimungkinkan sering terjadi selisih. Berbeda dengan bank syariah, bank ini
lebih menghadapi masalahnya secara bersamaan dengan nasabahnya. Dengan begitu para
nasabah tidak terkecewakan malah akan terciptalah suatu kerukunan dan
kesejahteraan antara pihak bank dengan pihak nasabah. Karena tujuan Bank
Syari’h itu membantu satu sama lain.
Perbedaan yang mendasar selanjutnya adalah perbedaan pada
aspek dan legalitasnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga. Untuk
menghindari sistem bunga tersebut dibuatlah sistem jual beli yang dilaksanakan
dalam bentuk bagi hasil. Sedangkan pada bank konvensional prinsip yang
digunakan adalah pinjam-meminjam uang dan berlakunya sistem bunga. Nah perbedaan
dari tujuan bank konvensional dengan bank syariah menunjukan bahwa Bank
konvensional didirikan untuk mendapatkan keuntungan material sebesar-besarnya,
sedangkan bank syariah didirikan untuk memberikan kesejahteraan material dan
spiritual.
Kesejahteraan material dan spiritual tersebut didapat
melalui usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang halal. Artinya, bank syariah
tidak akan menyalurkan dana untuk usaha-usaha yang tidak pasti kehalalanya. Karena
itu dapat dikatakan bahwa konsep keuntungan pada bank konvensional lebih
cenderung berfokus pada sudut keuntungan materi, sedangkan konsep keuntungan
pada bank syariah harus memperhatikan keuntungan dari sudut duniawi dan
akhirat. Jika memang tujuan nasabah sesuai dengan tujuan bank syariah, maka secara
prinsip tidak ada kekurangan dari menabung di bank syariah karena adanya
keseimbangan antara duniawi dan akhirat. Namun apabila tujuan nasabah lebih ke
aspek-aspek materialnya, maka bisa jadi keuntungan yang diperoleh akan kurang
sesuai dengan harapan yang diinginkan.
Dalam
menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan Prinsip Syariah ini juga tidak
menggunakan sistem bunga dalam menentukan sitem imbalan atas dana yang
digunakan atau dititipkan oleh suatu pihak. Penentuan imbalan terhadap dana
yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan pada prinsip bagi
hasil sesuai dengan hukum Islam al-Qur’n dan Hadis. Dimana dalam islam dikenal
dengan prinsip al-wadi’ah yang artinya sebagai titipan murni dari satu pihak ke
pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendaki. Dalam al-qur’an dan hadis menjelaskan, (An-nisa:58) “sesungguhnya
allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak
menerimanya..” (HR Abu Daud) Rasulullah saw bersabda ”sampaikanlah amanat
kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang
telah mengkhianatimu”.
Pada
dasarnya, penerima simpanan adalah yad al-amanah artinya yang bertanggung jawab
atas apa yang diamanahkan. Tapi ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau
kerusakan yang terjadi pada aset yang dititipkan selama hal ini bukan akibat
dari kelalaian atau kecerobohan dari yang bersangkutan dalam memelihara barang
titipan karena faktor-faktor diluar batas kemampuan. Namun di dalam aktivitas
ekonomi sekarang ini, si penerima simpanan tidak mungkin mendiamkan aset
tersebut, tetapi mempergunakanya dalam aktivitas perekonomian tertentu.
Karenanya ia harus meminta izin dari pemberi titipan terlebih dahulu untuk
mempergunakan asetnya tersebut, dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset
tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah melainkan
yad al-dhomanah yaitu yang bertanggung jawab atas segala kehilangan atau
kerusakan yang terjadi pada aset tersebut.
Dalam
aplikasi perbankan syari’ah mengacu pada pengertian yad adh-dhomanah, bank itu kalau
diilustrasikan sebagai penerima simpanan yang akan memanfaatkan dari aset yang
sudah di wadi’ahkan . Sebagai konsekuensinya dari yad adh-dhomanah sendiri
semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank,
demikian juga ia sebagai penanggung keseluruhan jika dimungkinkan rugi. Sebagai
imbalan si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya. Dengan
demikian bank sebagai penerima dan juga sebagai pihak yang telah memanfaatkan
harta tersebut tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus.
Dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan
melainkan benar-benar merupakan kebijakan dari manajemen bank itu sendiri.
Dalam artian bank boleh memberikan bonus kepada nasabah yang telah percaya
untuk menitipkan hartanya. Jadi dengan konsep al-wadi’ah yad adh-dhomanah ini,
pihak yang menerima titipan boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang
yang dititipkan tentunya dengan membagi hasil dari penggunaan dana tersebut
berupa bonus.
Didalam hubungan
perekonomian yang berdasarkan syari’ah tersebut ditentukan oleh adanya hubungan
yang diawali dengan aqad, yang dimana
terdiri dari lima konsep dasar Aqad. Jadi bersumber dari kelima konsep
dasar inilah dapat ditemukan produk-produk pada bank syari’ah yang
dioperasionalkan di Indonesia. Yaitu produk bagi hasil dan jual beli, dimana
pada bagi hasil terdapat empat produk diantranya; al-musyarakah, al-mudharabah,
al-muzara’ah, al-musaqah dan pada jual beli terdapat tiga produk diantaranya;
al-murabahah, salam, dan istishna. Namun
prinsip yang paling banyak dipakai dalam bagi hasil adalah al-musyarakah
dan al-mudhorabah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqoh dipergunakan khusus
untuk pembiayaan pertanian oleh beberapa bank islam.
Pengertian
al-musyarakah sendiri yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama. Atau dalam
bahasa kita sum-suman. Jenisnya ada dua; musyarakah kepemilikan dan musyarakah
akad/kontrak. Yaitu dalam musyarakah kepemilikan tercipta karena adanya suatu warisan,
wasiat, atau kondisi lain yang mengakibatkan kepemilikan dua orang atau lebih.
Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang
atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah
sepakat untung dan rugi. Nah dalam aplikasinya diperbankan syari’ah,
al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek, dimana nasabah
dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah
proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersamaan dengan bagi
hasil yang telah disepakati diawal.
Sedangkan kalau
mudharabah yaitu akad kerjasama antara dua pihak (sohibulmal/pemilik dana
dengan mudhorib/pengusaha) dengan system bagi hasil sesuai kesepakan bersama.
Jenisnya ada dua; mudharabah muthalaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah
muthalaqah ini kerjasama dimana pemilik dana memberikan kebebasan keleluasaan
kepada pengelola dananya untuk membangun usaha apa yang akan dilakoninya
mengenai waktu, daerah bisnisnya, jenis usahanya terserah dari si pengelolanya.
Beda dengan mudharabah muqayyadah malah kebaliknya, yaitu si mudharib dibatasi
dengan batasan jenis usahanya waktunya atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini
seringkali mencerminkan kecenderungan
umum si shohibul mall dalam memasuki jenis dunia usaha.
Bagi hasil
al-muzara’ah ini biasanya jarang digunakan, kecuali orang yang punya lahan tapi
tidak sanggup untuk mengelolanya, dengan begitu al-muzara’ahlah yang bertindak.
Yaitu kerjasama pengelolahan bidang pertanian antara pemilik lahan dengan
penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panenya.
Sehingga dalam konteks ini, lembaga keuangan syari’ah dapat memberikan
pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian atas dasar prinsip
bagi hasil dari hasil panenya. Kalau al-muzara’ah ini tidak lain hampir sama
dengan al-musaqah karena hal ini terlibat dalam bidang pertanian juga. Namun
al-musaqoh ini lebih sederhana atau simplenya dari al-muzara’ah. Yaitu dimana
si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaannya saja.
Sebagai imbalanya si penggarap berhak atas nisbah dari hasil panen yang
didapatkan. Jadi pengelolaan atas dasar kerjasama dengan kesepakan yang baik
akan mendapatkan hasil yang baik pula.
Di dalam
bank syariah bentuk-bentuk jual beli terbilang sangatlah banyak dan
bermacam-macam, namun dari kesekian yang banyak itu ada tiga jenis jual beli
yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal
kerja dan investasi dalam perbankan syari’ah. Yaitu al-murabahah adalah jual
beli pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dimana penjual
harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahanya.
Jadi Islam
membolehkan jual beli secara tidak tunai atau kreditlah bahasa ekonominya, tapi
selama adanya kesepakatan antara kedua pihak tersebut menyepakati adanya
keuntungan besar yang diambil dari pedagang yang memang dibayar secara eceran
atau berangsur-angsur. Karena dalam hadis disebutkan yaitu Rasulullah Saw bersabda,
“tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan diantaranya jual-beli secara
tangguh, muqaradhah/mudharabah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah bukan untuk dijual” dengan begitu islam membolehkan pembayaran
secara kredit tanpa berlebihan sesuai dengan kesepakatan.
Selanjutnya
jual beli salam yaitu jual beli pesenan, maksudnya pembelian barang yang
diserahkan dikemudian hari tapi pembayaranya dilakukan di awal. Didalam jual
beli salam ini banyak ketentuanya yaitu harus menjelaskan jenis-jenis barangnya
secara detail dan tentang kualitas kuantitas barangnya bisa dipercaya supaya
pembeli tidak ragu lagi untuk memesan barang tersebut. Aplikasi dalam perbankan
syariah yaitu biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu
yng relative pendek yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang
seperti padi, jagung, atau hasil pertanian, bank tersebut tidak berniat untuk
menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan. Maka dilakukanlah akad
salam kepada pembeli kedua misalnya kepada bulog, pedagang induk pasar atau
grosiran. Nah inilah yang dalam perbankan syari’ah dikenal sebagai salam
parallel.
Sedangkan
istishna jelas berbeda dengan salam karena merupakan kontrak penjualan antara
pembeli dengan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima
pesanan dari pembeli. Tapi ketika sudah pada masanya hasilnya belum juga
tersedia, maka pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat
atau membeli barang yang sama menurut spesifikasi yang telah di sepakati.
Dengan begitu kedua belah pihak bersepakat atas harga serta system pembayaran
apakah dilakukan dimuka, atau secara cicilan ataupun ditangguhkan sampai waktu
pada masa yang akan datang. Bahkan pembeli boleh saja membatalkan atau
meneruskan dari kontrak yang telah disepakati karena adanya halangan atau
ketidaksengajaan dari si penjual atau pembuat barang.
Jadi tujuan
dari produk-produk syari’ah ini yaitu untuk membantu dalam kegiatan
perekonomian yang dimana pada saat ini masih banyak masyarakat yang melakukan
transaksi tanpa mengetahui syariat dasar hukumnya. Sehingga dengan berdirinya Bank syariah maka Umat Islam diharapkan dapat
memahami perkembangan bank syariah dan mengembangkannya, apabila dalam posisi
sebagai pengelola bank syariah yang perlu secara cermat mengenali dan
mengidentifikasi semua mitra kerja yang sudah ada maupun yang potensial untuk
pengembangan bank syariah tersebut kepada masyarakat sekitar supaya paham dan
sadar akan pentingnya bermuamalah dalam kegiatan perekonomian yang sesuai
dengan syariat islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar