Sabtu, 01 Juni 2013

Analisis Bank Syariah dan Produk-Produk Syari’ah



Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit atau dalam bentuk lain yang dapat meningkatkan taraf hidup orang banyak. Ada dua jenis bank yang terdapat di Indonesia, yaitu yang pertama adalah bank yang melakukan usaha secara konvensional dan bank yang melakukan usahanya secara syariah. Yang kedua bank tersebut memiliki kesamaan dan perbedaannya masing-masing, dimana Bank konvensional dan Bank Syariah sama-sama memiliki kesamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, laporan keuangan, teknologi yang digunakan dan sebagainya. Sedangkan untuk perbedaannya itu menyangkut struktur organisasi, aspek dan legalitas, lingkungan kerja dan usaha yang dibiayai.


Pebedaan mengenai struktur organisasi yaitu jabatan tertinggi pada Bank Syari’ah berada pada tangan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang setingkat dengan Dewan Komisaris pada setiap bank. Dimana DPS ini bertugas mengawasi kegiatan operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syari’ah. Sehingga dengan adanya DPS menjamin efektivitas kegiatan operasional yang benar-benar murni syari’ah. Setiap lembaga syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebajikan didunia maupun  akhirat. Yaitu dengan menjauhkan diri dari unsur riba dan menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan atau jual-beli. Dengan mengacu pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang.

Untuk lingkungan kerja, kalau kita lihat memang di Bank Syariah akan terasa ada nuansa dan aura yang berbeda, karena nuansa yang diberikan oleh bank syariah lebih islami dengan lewat cara berpakaian, etika dan tingkahlaku para karyawannya, dibanding dengan bank konvensional pada umumnya. Dalam menangani resiko usahanya juga, bank konvensional tidak berkaitan dengan nasabahnya secara langsung, dan antara pendapatan bunga atau beban bunga dimungkinkan sering terjadi selisih. Berbeda dengan bank syariah, bank ini lebih menghadapi masalahnya secara bersamaan dengan nasabahnya. Dengan begitu para nasabah tidak terkecewakan malah akan terciptalah suatu kerukunan dan kesejahteraan antara pihak bank dengan pihak nasabah. Karena tujuan Bank Syari’h itu membantu satu sama lain.

Perbedaan yang mendasar selanjutnya adalah perbedaan pada aspek dan legalitasnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga. Untuk menghindari sistem bunga tersebut dibuatlah sistem jual beli yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Sedangkan pada bank konvensional prinsip yang digunakan adalah pinjam-meminjam uang dan berlakunya sistem bunga. Nah perbedaan dari tujuan bank konvensional dengan bank syariah menunjukan bahwa Bank konvensional didirikan untuk mendapatkan keuntungan material sebesar-besarnya, sedangkan bank syariah didirikan untuk memberikan kesejahteraan material dan spiritual.

Kesejahteraan material dan spiritual tersebut didapat melalui usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang halal. Artinya, bank syariah tidak akan menyalurkan dana untuk usaha-usaha yang tidak pasti kehalalanya. Karena itu dapat dikatakan bahwa konsep keuntungan pada bank konvensional lebih cenderung berfokus pada sudut keuntungan materi, sedangkan konsep keuntungan pada bank syariah harus memperhatikan keuntungan dari sudut duniawi dan akhirat. Jika memang tujuan nasabah sesuai dengan tujuan bank syariah, maka secara prinsip tidak ada kekurangan dari menabung di bank syariah karena adanya keseimbangan antara duniawi dan akhirat. Namun apabila tujuan nasabah lebih ke aspek-aspek materialnya, maka bisa jadi keuntungan yang diperoleh akan kurang sesuai dengan harapan yang diinginkan.

Dalam menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan Prinsip Syariah ini juga tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan sitem imbalan atas dana yang digunakan atau dititipkan oleh suatu pihak. Penentuan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam al-Qur’n dan Hadis. Dimana dalam islam dikenal dengan prinsip al-wadi’ah yang artinya sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dalam al-qur’an dan hadis menjelaskan, (An-nisa:58) “sesungguhnya allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya..” (HR Abu Daud) Rasulullah saw bersabda ”sampaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”.

Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad al-amanah artinya yang bertanggung jawab atas apa yang diamanahkan. Tapi ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset yang dititipkan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan dari yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan karena faktor-faktor diluar batas kemampuan. Namun di dalam aktivitas ekonomi sekarang ini, si penerima simpanan tidak mungkin mendiamkan aset tersebut, tetapi mempergunakanya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya ia harus meminta izin dari pemberi titipan terlebih dahulu untuk mempergunakan asetnya tersebut, dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah melainkan yad al-dhomanah yaitu yang bertanggung jawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset tersebut.

Dalam aplikasi perbankan syari’ah mengacu pada pengertian yad adh-dhomanah, bank itu kalau diilustrasikan sebagai penerima simpanan yang akan memanfaatkan dari aset yang sudah di wadi’ahkan . Sebagai konsekuensinya dari yad adh-dhomanah sendiri semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga ia sebagai penanggung keseluruhan jika dimungkinkan rugi. Sebagai imbalan si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya. Dengan demikian bank sebagai penerima dan juga sebagai pihak yang telah memanfaatkan harta tersebut tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus. Dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan melainkan benar-benar merupakan kebijakan dari manajemen bank itu sendiri. Dalam artian bank boleh memberikan bonus kepada nasabah yang telah percaya untuk menitipkan hartanya. Jadi dengan konsep al-wadi’ah yad adh-dhomanah ini, pihak yang menerima titipan boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan tentunya dengan membagi hasil dari penggunaan dana tersebut berupa bonus.

Didalam hubungan perekonomian yang berdasarkan syari’ah tersebut ditentukan oleh adanya hubungan yang diawali dengan aqad, yang dimana terdiri dari lima konsep dasar Aqad. Jadi bersumber dari kelima konsep dasar inilah dapat ditemukan produk-produk pada bank syari’ah yang dioperasionalkan di Indonesia. Yaitu produk bagi hasil dan jual beli, dimana pada bagi hasil terdapat empat produk diantranya; al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah, al-musaqah dan pada jual beli terdapat tiga produk diantaranya; al-murabahah, salam, dan istishna. Namun  prinsip yang paling banyak dipakai dalam bagi hasil adalah al-musyarakah dan al-mudhorabah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqoh dipergunakan khusus untuk pembiayaan pertanian oleh beberapa bank islam.

Pengertian al-musyarakah sendiri yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama. Atau dalam bahasa kita sum-suman. Jenisnya ada dua; musyarakah kepemilikan dan musyarakah akad/kontrak. Yaitu dalam musyarakah kepemilikan tercipta karena adanya suatu warisan, wasiat, atau kondisi lain yang mengakibatkan kepemilikan dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah sepakat untung dan rugi. Nah dalam aplikasinya diperbankan syari’ah, al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek, dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersamaan dengan bagi hasil yang telah disepakati diawal.

Sedangkan kalau mudharabah yaitu akad kerjasama antara dua pihak (sohibulmal/pemilik dana dengan mudhorib/pengusaha) dengan system bagi hasil sesuai kesepakan bersama. Jenisnya ada dua; mudharabah muthalaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthalaqah ini kerjasama dimana pemilik dana memberikan kebebasan keleluasaan kepada pengelola dananya untuk membangun usaha apa yang akan dilakoninya mengenai waktu, daerah bisnisnya, jenis usahanya terserah dari si pengelolanya. Beda dengan mudharabah muqayyadah malah kebaliknya, yaitu si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usahanya waktunya atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali  mencerminkan kecenderungan umum si shohibul mall dalam memasuki jenis dunia usaha.

Bagi hasil al-muzara’ah ini biasanya jarang digunakan, kecuali orang yang punya lahan tapi tidak sanggup untuk mengelolanya, dengan begitu al-muzara’ahlah yang bertindak. Yaitu kerjasama pengelolahan bidang pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panenya. Sehingga dalam konteks ini, lembaga keuangan syari’ah dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panenya. Kalau al-muzara’ah ini tidak lain hampir sama dengan al-musaqah karena hal ini terlibat dalam bidang pertanian juga. Namun al-musaqoh ini lebih sederhana atau simplenya dari al-muzara’ah. Yaitu dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaannya saja. Sebagai imbalanya si penggarap berhak atas nisbah dari hasil panen yang didapatkan. Jadi pengelolaan atas dasar kerjasama dengan kesepakan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik pula.

Di dalam bank syariah bentuk-bentuk jual beli terbilang sangatlah banyak dan bermacam-macam, namun dari kesekian yang banyak itu ada tiga jenis jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syari’ah. Yaitu al-murabahah adalah jual beli pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dimana penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahanya.

Jadi Islam membolehkan jual beli secara tidak tunai atau kreditlah bahasa ekonominya, tapi selama adanya kesepakatan antara kedua pihak tersebut menyepakati adanya keuntungan besar yang diambil dari pedagang yang memang dibayar secara eceran atau berangsur-angsur. Karena dalam hadis disebutkan yaitu Rasulullah Saw bersabda, “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan diantaranya jual-beli secara tangguh, muqaradhah/mudharabah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual” dengan begitu islam membolehkan pembayaran secara kredit tanpa berlebihan sesuai dengan kesepakatan.

Selanjutnya jual beli salam yaitu jual beli pesenan, maksudnya pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari tapi pembayaranya dilakukan di awal. Didalam jual beli salam ini banyak ketentuanya yaitu harus menjelaskan jenis-jenis barangnya secara detail dan tentang kualitas kuantitas barangnya bisa dipercaya supaya pembeli tidak ragu lagi untuk memesan barang tersebut. Aplikasi dalam perbankan syariah yaitu biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yng relative pendek yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, atau hasil pertanian, bank tersebut tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan. Maka dilakukanlah akad salam kepada pembeli kedua misalnya kepada bulog, pedagang induk pasar atau grosiran. Nah inilah yang dalam perbankan syari’ah dikenal sebagai salam parallel.

Sedangkan istishna jelas berbeda dengan salam karena merupakan kontrak penjualan antara pembeli dengan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Tapi ketika sudah pada masanya hasilnya belum juga tersedia, maka pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang yang sama menurut spesifikasi yang telah di sepakati. Dengan begitu kedua belah pihak bersepakat atas harga serta system pembayaran apakah dilakukan dimuka, atau secara cicilan ataupun ditangguhkan sampai waktu pada masa yang akan datang. Bahkan pembeli boleh saja membatalkan atau meneruskan dari kontrak yang telah disepakati karena adanya halangan atau ketidaksengajaan dari si penjual atau pembuat barang.

Jadi tujuan dari produk-produk syari’ah ini yaitu untuk membantu dalam kegiatan perekonomian yang dimana pada saat ini masih banyak masyarakat yang melakukan transaksi tanpa mengetahui syariat dasar hukumnya. Sehingga dengan berdirinya Bank syariah maka Umat Islam diharapkan dapat memahami perkembangan bank syariah dan mengembangkannya, apabila dalam posisi sebagai pengelola bank syariah yang perlu secara cermat mengenali dan mengidentifikasi semua mitra kerja yang sudah ada maupun yang potensial untuk pengembangan bank syariah tersebut kepada masyarakat sekitar supaya paham dan sadar akan pentingnya bermuamalah dalam kegiatan perekonomian yang sesuai dengan syariat islam.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar